Gallery

Priyadi Yang “Jinak”

Nama lengkapnya Bagus Priyadinata. Sebagai teman sejati, aku tidak senang jika melihat teman lain bahagia. Oleh sebab itu selalu memanggilnya Priyadi. Aku tidak sudi memanggilnya dengan nama Bagus.

Meskipun sangat pintar, tapi dulu dia enggan diangkat menjadi dosen di almamater kami. Baginya dosen identik dengan guru, meskipun minus tanggungjawab sebagai pendidik. Kerangkeng profesi ini menuntut kesabaran, demikian konon alasannya.

“Bodoh sekali kamu ini!!!! Walaupun jungkir balik tiga ratus enam puluh derajat per detik, gak akan mungkin bisa kamu menyelesaikan soal ini kalau jalannya pakai cara seperti itu. Jangan garuk garuk kepala kayak orang kebanyakan kutu seperti itu.” Itu kata kata yang keluar 30 tahun lalu saat mengajar les privet anak smp. Priyadi muda yang tidak sabaran, malah bahagia begitu orang tua muridnya protes serta menggantinya dengan guru privet lain. Pintar tapi tidak berbakat untuk mengajar. Mungkin orang cerdas seperti dirinya tidak sabaran melihat kelambanan orang lain.

Di tingkat akhir kuliah, Priyadi sempat juga mengajar di Sekolah Perawat. Entah bagaimana ceritanya tetiba dia bisa mengajar di sekolah yang muridnya hampir semuanya perempuan. Mengajar Komputer, teori dan praktek. Yang diajar memang sederhana, hanya pembukuan dengan aplikasi Excel. Awalnya biasa saja. Tangan Priyadi hanya mengelus lembut tetikus komputer. Hanya, kebetulan tetikus itu berada dibawah genggaman jemari halus seorang mahasiswi. Persentuhan lembut yang menyenangkan itulah yang mengawali keakraban mereka. Hingga berlanjut pada pertemuan makan malam. Dan pertemuan pertemuan selanjutnya.

“Susah jadi dosen. Harus menjaga sikap dan wibawa. Tidak bisa menjadi diri sendiri.” Keluhnya setelah mendapat teguran ketahuan bermain api dengan mahasiswinya.

“Dosen itu harus berjiwa kebapakan, bukan kesuamian, apalagi ke kekasih.” Komentarku.

Dan akhirnya dia hanya mampu bertahan dua semester, sebelum kasus serigala menghabisi domba sekandang benar benar terjadi.

Bahwasanya Priyadi nyambi jadi dosen, itu adalah karena kecelakaan sejarah. Aku yang menjerumuskannya agar terdaftar jadi Dosen Teknik di satu perguruan tinggi swasta. Karena kupikir dia sudah jinak. Selain, sayang jika gelar master dan pengalaman skill tingginya tidak dimanfaatkan. Dan lagi untuk kelas karyawan kurang pas jika hanya diajar Doktor yang minim pengalaman di lapangan kerja.

Untuk mata kuliah umum dia sempat kebagian mengajar di kelas karyawan. Takdir menempatkan dirinya mengajar Kelas Manajemen. Di kelas itu, proporsi jumlah murid perempuan jauh melebihi laki laki. Apakah dia tidak mengalami masalah dengan mahasiswi pada masa itu? Pernah juga, tapi sepertinya Priyadi memang sudah jinak.

Di tengah semester muncul seorang mahasiswi cantik, menarik dan terawat. Sebagai marketing sebuah perusahaan, sepulang kerja datang menghadap Priyadi. Dari jarak lima meter wangi parfum sudah mewangi. Kosmetik dan lipstick mahal membuat sang mahasiswi berbeda dari yang lainnya. Cantik, meskipun penuh polesan mahal. Apalagi rok pendek di atas lutut sangat menggairahkan mata.

“Pak. Saya minta maaf. Saya sering absen kuliah karena kerja. Tugas tugas banyak yang belum kerjakan dan kumpulkan. Disuruh apain aja saya mau. Terserah bapak. Yang penting saya bisa lulus.”

Priyadi gagal fokus, imajinasinya liar merajalela. Kata kata sang mahasiswi itu sungguh berbahaya. Ibarat buah ranum milik tetangga di depan mata. Tinggal petik dan dikupas serta dilahap saja. Alangkah menggoda, namun jurang neraka ada di belakangnya.

Di lain waktu ada lagi cerita lain di kelasnya.

“Mengapa kamu mengelus elus perutmu? Apakah sakit perut?” Tanya Priyadi penuh perhatian pada mahasiswi yang duduk di bangku paling depan.

“Ah enggak, Pak. Saya sedang hamil.”

“Oh. Apakah sudah datang waktunya untuk melahirkan?”

“Belum, Pak. Saya cuma ingin agar nanti anak saya pintar dan ganteng kayak Bapak.”

Di hadapan kami, para penguji dan pembimbing, kelihatan bahwa mahasiswa ini kurang menguasai materi miliknya. Aku termasuk tidak tegaan. Meskipun kelihatannya garang dan serius. Tapi sekarang aku bertemu dengan Priyadi yang berbeda ketika menguji sidang tugas akhir mahasiswa.

“Excellent……. Sangat luar biasa…. Baguuuussss” Priyadi bertepuk tangan setelah paparan tugas akhir mahasiswa tersebut.

“Bagus untuk ukuran seorang penipu.” Sambungnya.

“Ibaratnya, yang anda harus terangkan adalah gajah. Sementara yang anda miliki hanya ular. Jadi awalnya anda menerangkan sekilas bahwa gajah memiliki belalai, telinga, badan, kaki dan ekor. Dengan fasih anda bisa menerangkan ular sebagai pengalih dari ekor gajah tadi. Luar biasa, luar biasa sekali. Anda ini sangat cocok untuk menjadi sales. Bukan seorang enjiner.”

Bangunan mental sang mahasiswa sempat rontok dengan komentar tersebut. Dan memang, Priyadi terkenal galak dan keras jika menguji sidang tugas akhir mahasiswa. Tapi kalian tahu, dia sebenarnya tidak begitu.

Leave a comment