Gallery

Parung Bingung, Konon Ceritanya

Mandor Sairih tak bergerming sejak tadi dari selonjorannya. Pagi itu dia tengah berleha leha bagaikan raja. Seorang diri bertengger di bangku dipan teras rumahnya. Entah linting ke berapa puluh rokok di tangannya. Puntung bekas lintingan rokok bertebaran dengan semena mena di lantai. Asap rokok yang dihembuskan dari mulut dan hidung Mandor Sairih seolah menuntun khayalnya. Asap itu melayangkan angannya. Semakin kuat hisapan dan hembusan rokok itu semakin hebat kelana dalam pikirannya.

Satu teko kopi pahit masih penuh dan sepiring singkong rebus masih utuh, tepat di hadapannya. Satu jam yang lalu hidangan itu disediakan di atas meja, sudah menjadi dingin tanpa disentuh olehnya. Sedingin perasaannya terhadap Maesaroh. Istrinya yang dinikahinya dua tahun lalu sudah tidak menggairahkan lagi baginya, sudah dingin.

Maesaroh pernah jadi primadona. Tapi itu dulu, sebelum jadi istrinya. Bekas pacarnya itu pernah jadi Ratu Kebaya, punya pesona lekuk pinggul dan dada yang luar biasa. Dan Mandor Sairih begitu menggebu gebu untuk memilikinya. Sebagai jawara tidak ada yang bisa mengalahkannya, dalam adu ilmu tarung maupun ilmu pikat. Salikun, Saprin, atau Maskun juga jawara, dan pernah ikut terpikat pula. Salikun pernah berguru ke tanah Pasundan, Saprin pernah berguru ke Banten dan Maskun pernah berguru ke Cirebon. Namun dalam kompetisi itu, mereka semua takhluk dengan ilmu lokal yang dimiliki Mandor Sairih.

Satu bulan pertama perkawinan, adalah masa indah bagi Mandor Sairih dan Maesaroh. Ketika bulan madu, dunia bagaikan surga. Dunia cukuplah kasur, dapur dan sumur. Hanya tiga tempat itu saja, tidak perlu yang lain. Apalagi saat itu musim hujan. Semakin rapat menjalin kehangatan berdua, semakin enggan untuk keluar dari selimut mereka.

Bulan kedua dan seterusnya adalah masalah. Duit habis, beras tandas, gula tak bersisa, dan semua mulai menipis. Bahkan bedak Maesaroh pun ikut habis. Istrinya mulai sering memberi nasehat kepada Mandor Sairih sebagai lelaki agar menjadi suami yang bertanggung jawab dengan mencari nafkah yang halal. Dimana mana nasehat yang baik biasanya membuat bising telinga. Obat baik biasanya pahit rasanya. Bulan bulan berikutnya kehangatan yang didapatkan Mandor lebih banyak dirasakan di hati. Tepatnya bukan hangat, tapi panas membakar perasaan. Dirinya mulai gerah di rumah, lebih sering ditemui sedang nongkrong di pangkalan. Pulang hanya untuk memberikan setoran lahir dan batin, dalam makna harfiah setor uang dan badan.

Pangkalan yang dimaksud disini konon adalah tempat judi. Semua arena tersedia disana. Mulai dari judi kartu atau dadu, sampai sabung ayam juga ada. Mandor Sairih betah berhari hari di sana. Dia akan pulang jika hatinya senang. Hatinya senang jika dia menang. Dia menang berarti memiliki uang, tuntaslah kewajiban. Maesaroh bukannya tidak tahu bahwa sebagai jawara uang yang didapat Mandor Sairih panas. Pernah dia menasehati suaminya untuk rajin ke surau, beribadah dan mencari nafkah dengan usaha lain.

“Ntar…. Nunggu dapat Hidayah.” Jawab Mandor Sairih. Sebuah jawaban singkat efektif, buktinya Maesaroh diam. Padahal bolehjadi Hidayah bagi Mandor Sairih adalah istri lagi bernama Hidayah.

Mandor Sairih sedang gandrung Kalimah. Hatinya tergoda dengan kebahenolan perawan muda cantik, pelayan baru sebuah di Pangkalan. Baginya Kalimah lebih menggairahkan dibandingkan istrinya. Sebagai sawah, Maesaroh sudah tidak menantang lagi untuk dicangkul. Maesaroh telah terkontaminasi dengan rutinitas selain kasur, dapur dan sumur. Kalimah adalah ladang yang baru ditaklukan, sungguh menantang untuk dieksplorasi. Dalam seminggu hanya dua hari Mandor Sairih ada di rumah, sudah bisa ditebak bahwa hari hari lainnya terlelap sambil memeluk Kalimah di dekat pangkalan.

Mandor Sairih membanting lintingan rokok ke asbak selebar dunia, alias ke lantai. Hatinya sudah bulat untuk mengembalikan Maesaroh kepada orang tuanya. Haji Umar adalah orang tua Maesaroh, juga adalah guru dari Mandor Sairih. Rasa telah mengalahkan perasaan dan pikiran. Rasa tubuh Kalimah membuat semangat Mandor Sairih terpicu. Dengan mengembalikan Maesaroh kepada orang tuanya membuka peluang Mandor Sairih untuk menikah lagi. Tidak lagi perlu sembunyi sembunyi dengan Kalimah seperti saat itu.

Dengan sedikit tipuan, Maesaroh turut mengikuti ajakannya tanpa tahu arah dan tujuan mereka. Kesempatan bagi Maesaroh, hatinya gembira. Sangat jarang Maesaroh diajak berjalan pelesir berdua. Seolah mengulang masa indah dahulu. Keesokan pagi mereka berjalan berdua beriring jalan. Perjalanan menuju kampung Haji Umar melewati daerah dekat pangkalan. Tidak jauh dari pangkalan terdapat persimpangan jalan, satu ke arah bukit dan satunya menurun menuju lembah. Jalan ke arah kampung Haji Umar harus melewati lembah. Sejak dari rumah hingga simpang jalan itu kepalanya berpikir keras akan alasan apa yang akan diberikan kepada calon bekas mertua sekaligus gurunya nanti. Kepala menjadi pusing, karena tidak pernah kepalanya berpikir sekeras itu. Terlalu berat mencari alasan untuk guru yang diseganinya bagi kepala otaknya. Dan akhirnya jalan yang ditempuh pun berbelok ke arah yang tidak semestinya. Setelah cukup jauh dan menjelang siang, tak terasa jalan yang mereka pilih ternyata kembali ke jalan menuju rumahnya. Akhirnya karena letih pusing melanda, Mandor Sairih urung dengan niat semula.

Setelah kegagalan misinya itu, beberapa waktu kemudian Kalimah mulai menjauh. Mandor Sairih dianggap ingkar dari janji untuk melepas istri yang sekarang dan segera menikahinya. Dalam banyak cerita sering digambarkan bagaimana dengan gampangnya seorang jawara atau mandor punya istri lebih dari satu. Tapi Mandor Sairih lain, nyalinya tak sekuat itu untuk menjalankan punya dua istri.

Sebagai ganti, Midah hadir dalam pelukannya. Sama sama perempuan warung di pangkalan juga, tapi lebih baru dan muda. Hamidah masih bisa diberi janji, masih bisa dibuai harapan. Kejadian ketika akan mengembalikan Maesaroh, sama terulang kembali. Kegagalan misi, sama terjadi lagi.

Selepas dari Midah, kemudian Patimah hadir dalam dekapannya. Masalah di persimpangan menuju kampung Haji Umar pun sama terjadi. Kejadian serupa terjadi tiga kali. Selalu dilanda kebingungan yang sama. Dari rumah memang bersemangat, didorong oleh nafsu yang mengalahkan akal pikirannya. Pada semula rencana sudah disiapkan dan disusun rapi. Berharap menemukan ilham untuk alasan yang tepat di jalan nantinya. Namun sepanjang jalan ilham yang dicari selalu tak kunjung dapat.

Disaat seperti itu justru kecerdikannya seolah menurun. Dia tak mampu mendapatkan alasan yang tepat bagi guru yang sangat dihormatinya, sekaligus mertuanya. Dia selalu tersadar akan betapa kecewa dan marah sang guru terhadapnya.

“Apa kata dunia jika seorang murid kesayangan mengecewakan guru?”

Sudah banyak dia dengar bagaimana sengsara nasib seorang murid kualat terhadap gurunya. Lagipula Haji Umar adalah guru akal, mental dan spiritual baginya. Demi ingat hal itu, setiap kali sampai di pertigaan itulah pikirannya seolah menjadi kosong, secara aneh dirinya terhipnotis. Dirinya selalu bagai dituntun untuk berjalan berbelok mengambil jalan yang ujungnya akan kembali menuju rumahnya.

Berpuluh tahun kemudian, simpang jalan tempat Mandor Sairih yang mengalami puncak kebingungan itu dikenal dengan nama Parung Bingung. Sebuah pertigaan di daerah Sawangan yang salah satunya menurun ke lembah. Dan kisah Mandor Sairih berkembang menjadi cerita mistis di masyarakat. Sebuah cerita dengan sedikit bumbu penyedap. Bahwa ada mahluk yang menggiring menyesatkan arah perjalanan Mandor Sairih ketika akan melakukan niat buruk terhadap istrinya.

Kisah yang berkembang dari mulut ke mulut menyebar tanpa terkendali. Tersiar kabar bahwa di simpang jalan itu sering muncul penampakan kadang dalam bentuk hewan kerbau, kadang berbentuk perempuan, atau rupa rupa mistis lain. Kejadian gaib yang akan membuat bingung, akhirnya sesat memilih arah dan tidak dapat meneruskan niat semula. Penampakan itu konon biasanya diperlihatkan kepada orang orang yang punya niat buruk dan jahat. Kuat dugaan bahwa cerita semacam itu juga dibuat dan disebarkan, selain untuk melindungi nama baik Mandor Sairih sekaligus juga untuk melindungi pangkalan pada masa itu. Daerah pangkalan judi ada berada tidak berapa jauh dari pertigaan. Bahwasanya sudah umum cerita semacam itu dikarang sehingga tidak sembarang orang berani lewat sana. Cerita dengan modus untuk menjaga agar tempat tersebut tetap terisolir aman. Tapi itu dulu. Berpuluh tahun lalu. Demikianlah konon cerita yang bisa disampaikan oleh penulis. Jika ada kekurangan dan kelebihan harap dimaafkan dan dimaklumi.

Leave a comment